Selasa, 19 Maret 2013

KETAATAN UNTUK MENDERITA

Palmarum 2013
“Taat” mengandung pengertian: senantiasa tunduk, patuh, tidak berlaku curang, setia, disiplin. Sedangkan ketaatan berarti ketertundukan, kepatuhan, dan kesetiaan seseorang terhadap pihak lain. Jika dikaitkan dengan kehidupan spiritualitas ketaatan itu tertuju kepada yang ilahi atau Tuhan. “Ketaatan untuk menderita?” Kalimat tema ini sulit untuk dimengerti! Mengapa? Lumrahnya orang akan bela-belain taat kalau ujung-ujungnya ia tahu bahwa di balik ketaatannya itu akan membuahkan keuntungan bagi dirinya dan orang lain. Orang mentaati peraturan dan rambu lalu-lintas. Mengapa? Sebab dengan berlaku taat, polisi pasti tidak akan menilangnya. Dampaknya, ia terhindar dari kecelakaan lalu-lintas. Seorang siswa taat belajar dan menghormati tata tertib di sekolahnya. Mengapa? Dengan ketaatan itu, ia berharap mendapatkan keuntungan, yakni mudah mengikuti pelajaran dan pasti nilainya bagus. Setiap warga negara menghormati dan taat pada hukum yang berlaku di negaranya. Mengapa? Sebab dengan demikian akan menguntungkan bagi negara itu: terciptanya ketertiban, keamanan dan kenyamanan. Lha, kalau taat kemudian menderita, apakah ada orang yang mau melakukannya?

Pada umumnya manusia dapat melakukan sebuah ketaatan karena dua hal. Pertama, ia taat karena ada undang-undang atau otoritas di atasnya yang “mengancaman” bahwa kalau melanggar maka ia akan mendapat sangsi atau hukuman. Konon, undang-undang atau hukum itu diciptakan agar dapat membatasi dan mengendalikan potensi “liar” manusia yang bisa mengganggu kenyamanan atau hak orang lain. Contoh, ketika Anda mengemudikan kendaraan di jalan raya. Anda tidak bisa bebas semaunya seruduk sana, seruduk sini. Ada aturannya. Ada batas kecepatan, ada jalan yang tidak boleh dimasuki, ada rambu-rambu yang harus ditaati.  Anda tidak bisa bebas. Mengapa? Karena ada kepentingan orang lain yang harus juga dihormati! Untuk ketaatan seperti ini, manusia diajak melihat kepentingan dan keuntungan bersama.

Kedua, ketaatan yang didasari oleh cinta kasih. Seorang suami atau isteri yang saling mencintai, maka mereka otomatis akan taat dan setia. Di mana pun suami atau istri berada, jauh dari pasangannya, mungkin ada banyak kesempatan untuk selingkuh tetapi mereka tidak melakukannya. Mengapa? Karena ada cinta! Ketaatan kepada pasangan idealnya bukan didasari karena takut atau mengharapkan imbalan. Namun, kenyataannya banyak pasangan suami-isteri mengembangkan hubungannya didasarkan karena takut! Apa yang terjadi jika hubungan suami-isteri didasarkan pada takut?  Bisa saja di “depan” pasangannya ia berlaku seolah-olah taat. Namun, di luar sepengetahuan pasangannya banyak tindakan yang tidak disukai oleh pasangannya justeru dilakukannya.

Seorang murid ketika ia mencintai gurunya pasti dengan sendirinya akan mengerjakan apa pun yang diperintahkan sang guru. Tugas yang diberikan oleh sang guru akan dikerjakannya dengan senang hati. Seorang hamba yang tahu bahwa tuannya mengasihi dirinya, pasti ia akan taat. Ia akan bersuka cita melayani tuannya, mengerjakan tugas-tugasnya meskipun berat. Ketaatannya bukan karena terpaksa atau takut dihukum dan dikurangi bayarannya. Tetapi karena ia ingin menyenangkan sang tuan. Demikian juga seorang hamba Tuhan yang tahu bahwa Tuhannya mengasihinya, Tuhannya pasti merancangan rancangan yang baik, maka ia akan melakukan apa saja, termasuk ketika harus menderita sekalipun, demi menyenangkan Tuhannya (Yesaya 50:4-9). Cinta kasih yang tulus pasti dengan sendirinya membuahkan ketaatan kepada yang dicintainya.

Jadi, sebenarnya tema kita dalam Minggu Palmarum ini tidak menjadi sulit atau aneh jika saja kita meletakkan ketaatan itu sebagai buah dari cinta. Ya, cinta kepada Tuhan. Bukankah untuk cinta kepada sesama manusia, kita rela menderita. Bahkan penderitaan itu tidak lagi dipandang sebagai hal menyakitkan. Mestinya kita bisa lebih melakukannya untuk Tuhan! Yesus mengajarkan kepada kita tentang ketaatan itu. Filipi 2:5-11 dengan sangat indah, Paulus menggambarkan ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya sebagai contoh teladan bagi siapa saya yang mengaku sebagai pengikut-Nya.
Paulus menyebut Yesus bukan hanya sebagai “Yesus”, melainkan lengkap dengan gelar Kristus atau Mesias. Artinya, sebagai yang dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Yesus memiliki rupa Allah dan setara dengan Allah. Dalam uraiannya, Paulus menegaskan bahwa Yesus telah meninggalkan status yang sangat tinggi itu demi ketaatan kepada Bapa-Nya. Hal ini berbeda dengan apa yang dicari manusia pada umumnya dan orang-orang di Filipi khususnya, yang dengan pelbagai cara berusaha mencari tempat kedudukan tinggi dan terhormat! Mungkin kita juga sekarang sedang berjuang mencari tempat kedudukan tinggi dan terhormat. Apa yang salah jika kita mengejar tempat itu? Sepintas mungkin wajar, tapi ada bahaya besar yang sedang mengancam. Ketika fokus kita tertuju meraih tempat itu maka kita tidak pernah bisa memberi ruang kepada orang lain. Kita menjadi tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, apalagi jika ia sukses mengerjakan apa yang selama ini menjadi mimpi-mimpi kita.

Status terhormat itu ditinggalkan-Nya. Yesus mengosongkan diri-Nya mengambil rupa seorang hamba, menjadi manusia yang terbatas. Bahkan ketaatan-Nya dibuktikan dengan kesengsaraan dan kematian-Nya di kayu salib, yang oleh semua orang dihindari. Yesus membalikkan paradigma berpikir yang biasanya ada di antara masyarakat, di antara kita: ingin berkuasa dan terkemuka, serta dihormati dan dilayani! Ketaatan seorang hamba yang diperagakan Yesus merupakan ketaatan total. Namun, ketaatan total Yesus itu bukanlah ketaatan membabi buta, yang tidak tahu apa yang akan terjadi, melainkan ketaatan penuh seorang hamba dengan kesadaran penuh. Ketaatan yang lahir dari cinta yang terdalam, jauh di lubuk jiwa-Nya kepada Sang Bapa.  Ketaatan yang tahu tujuan Bapa-Nya dalam rangka mengasihi manusia dan dunia ini. Apa buah dari ketaatan Yesus? Singkat kata, Paulus menjelaskan bahwa Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Fil.2:9-11)

Yesus tidak pernah mencanangkan tujuan ketaatan diri-Nya yang sampai mati di kayu Salib itu semata-mata untuk peninggian atau keuntungan diri-Nya. Akan tetapi sungguh pun itu terjadi sebagai dampak dari ketaatan-Nya. Banyak orang justeru terbalik: melakukan tindakan seolah-olah taat: beribadah, melakukan segala kebajikan dengan tujuan pemuliaan dan keuntungan diri sendiri! Jelas, ketaatan seperti ini tidak lahir dari cinta kasih, melainkan dari ketakutan: kalau tidak taat, takut tidak dapat sorga! Takut tidak mulia dan dipuji! Kisah berikut mengajarkan kepada kita untuk mencintai dan mengerjakan segala sesuatu dengan cinta walaupun terasa sulit dan menyesakan dada.

Pada tahun 1818 di Perancis, Louis, seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun, sedang duduk dalam bengkel pembuatan pakaian kuda milik ayahnya. Anak itu mulai senang dan tumbuh kecintaan akan apa yang dikerjakan sang ayah. “Suatu hari nanti, ayah”, kata Louis, “saya ingin menjadi pembuat pakaian kuda seperti ayah!”

“Mengapa tidak mulai sekarang?” kata ayahnya. Ia mengambil sepotong kulit dan menggambarkan sebuah pola rancangan kepadanya. “Sekarang, putraku,” katanya, “ambilah pahat, alat pelubang itu serta sebuah martil dan ikutilah rancangan ini, tetapi berhati-hatilah agar tanganmu tidak terpukul oleh martil itu!”

Dengan senang hati, anak itu mulai bekerja. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Ketika ia memukul alat pelubang dengan martil, pukulan martil itu tidak tepat, alat itu melenceng dari tangannya dan menghujam matanya! Ia tidak dapat melihat dengan mata itu. kemudian hari, mata yang lainnya tidak dapat berfungsi lagi. Louis mengalami kebutaan total!

Beberapa minggu kemudian, Louis sedang duduk di taman keluarga. Ketika itu seorang temannya memberikan buah cemara. Ia meraba-raba buah cemara itu dengan jari-jarinya yang amat peka, sebuah gagasan muncul dalam pikirannya. Ia menjadi antusias dan mulailah saat itu ia menciptakan abjad dalam bentuk titik-titik timbul pada kertas sehingga orang buta dapat merasakan dan menafsirkan apa yang ditulis. Dengan pengalaman hidupnya itu Louis Braille membuka lebar suatu dunia baru bagi orang buta! Tentu, sang ayah tidak menginginkan anaknya, Louis mengalami kebutaan sejak usia yang sangat muda. Ia tidak merancangkan hal buruk. Louis pun tidak pernah bercita-cita menjadi penemu huruf Braille. Namun, melaluinya Tuhan memberikan jalan agar orang yang tidak melihat kini memungkinkan mengenal dunia. Braille dikenang sepanjang zaman.

Berusahalah untuk mencintai Tuhan, maka ketaatan itu akan datang dengan sendirinya. Setiap orang yang mencintai Tuhan pasti akan berbuat, melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya bukan dengan keterpaksaan! Sekalipun mungkin saja ia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan mungkin orang lain akan mengatakannya “bodoh”, namun ia tetap setia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar