Kamis, 08 November 2012

MEMBERI DARI KEKURANGAN

Memberi adalah sebuah tindakan menyerahkan, membagikan, menyediakan, dan menyampaikan sesuatu yang dimiliki seseorang kepada pihak atau orang lain. Ada pelbagai alasan atau motivasi seseorang memberikan sesuatu kepada pihak atau orang lain. Memberi karena diminta oleh orang atau pihak lain.  Ada yang mencanangkannya sebagai “investasi” budi baik. Agar kelak orang yang ditolongnya akan menghormati dan mengingatnya. Ada pula yang menginginkan dirinya dikenal sebagai seorang dermawan. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa dengan memberikan sesuatu kepada orang lain, maka Tuhan akan membalasnya berkali-kali lipat. Ada juga orang yang memberi karena takut. Takut Tuhannya marah lalu “kran” berkatnya ditutup. Syukurlah, masih ada orang yang memberi oleh karena panggilan hidupnya, ia tidak tahan melihat sesamanya menderita, maka jika ia memberikan sesuatu, itu dilakukannya semata-mata untuk memberdayakan orang yang dibantunya itu.

Banyak orang beralasan tidak dapat memberi oleh karena dirinya tidak mempunyai sesuatu yang layak diberikan kepada orang lain. Ya, sangat logis! Sebab apa yang dapat kita berikan kepada orang lain kalau diri kita sendiri tidak mempunyai apa-apa. Untuk dapat memberi, paling tidak kita harus mempunyai sesuatu. Namun, betulkah ada manusia hidup tidak mempunyai apa pun? Jangan-jangan sepenggal kalimat itu adalah alasan karena niat hati memang tidak tergerak untuk memberi.  

Alkisah ada seorang raja yang tidak mempunyai anak. Ia sangat merindukan kehadiran seorang anak agar dapat meneruskan takhta kerajaannya. Raja itu menempelkan pengumuman. Ia mengundang orang-orang muda untuk mendaftar sehingga dapat diangkat anak dan menjadi keluarganya serta menjadi putra mahkota raja itu. Sayaratnya sederhana: orang itu harus mencintai Tuhan dan sesamanya.

Seorang anak petani miskin melihat pengumuman itu, hatinya bergelora. Ia berniat mendaftarkan diri, namun kemudian ia berpikir bahwa tidak mungkin bagi dirinya untuk diangkat anak karena ia benar-benar anak seorang petani miskin. Penampilan pun rasanya kurang pas. Ia hanya punya satu baju yang lusuh. Tidak mau menyerah dengan keadaan, si anak petani miskin ini kemudian bekerja keras siang-malam sehingga ia dapat membeli satu stel baju yang bagus. Kini dengan memakai baju bagus itu, ia hendak pergi ke istana untuk mendaftarakan diri menjadi anak raja.

Dalam perjalanan ke istana, ia bertemu dengan seorang pengemis kumal yang miskin. Orang tua itu menggigil kedinginan, anak muda itu mengamati dan merasa kasihan. Ia melepas bajunya yang baru itu lalu menukarkan bajunya dengan baju yang dipakai orang tua itu agar si pengemis tua itu tidak kedinginan. Sekarang ia  kembali memakai baju kumal compamg-camping, baju pengemis, dan sepertinya akan sia-sia perjalanannya. Bagaimana pun ia sudah pergi terlalu jauh dari kampungnya. Untuk kembali ke rumahnya dengan tangan kosong, bukanlah pilihan yang bagus. Ia memutuskan untuk terus berjalan, paling tidak ia ingin melihat istana dari luar.

Sesampainya di kawasan istana ia disambut sebagai bahan tertawaan oleh para penjaga istana dan sindiran dari pembantu raja. Tetapi akhirnya ia diijinkan masuk juga. Ada sesuatu yang sangat aneh tapi sangat familiar juga dengan rajanya itu, pertamanya ia tidak dapat menjelaskan perasaan apa itu, tetapi kemudian ia sadar, bajunya. Ia kemudian menyadari bahwa rajanya itu memakai bajunya yang tadi dipakainya sebelum bertukar dengan pengemis di jalan. Raja kemudian turun dari takhtanya dan memeluk anak itu, katanya, “Selamat datang anakku!”

Janda miskin dengan dua peser uang dalam gengamannya masuk ke “istana” Allah. Bait Suci itu. Bagaikan pengalaman anak petani miskin itu. Sudah pasti janda itu tidak dipandang sebelah mata bahkan cenderung menerima cibiran dari orang-orang “istana” itu, mengingat penampilannya apalagi uang yang dibawanya adalah mata uang terkecil yang ada saat itu. Hal ini sangat kontras dengan orang-orang kaya yang membawa persembahan dalam jumlah besar dan memasukkannya ke dalam peti persembahan. Namun, di luar dugaan, Yesus yang melihat peristiwa itu menghargai pemberian janda ini. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Markus 12: 43-44).

Mengapa Yesus mengapresiasi pemberian janda miskin ini? Ya, karena janda ini memberi dengan pengurbanan. Ia mempertaruhkan seluruh hidupnya. Sesudah ia memberikan uangnya maka secara manusiawi ia tidak lagi mempunyai jaminan hidup minimal untuk hari itu pun tidak. Hidupnya kita hanya bergantung kepada Tuhan. Bisa saja si janda itu memberikan hanya sebagian dan sepeser lagi untuk membeli makanan agar dia bisa hidup hari itu. Namun, Alkitab menceritakan semuanya dipersembahkan. Janda ini memberi contoh buat kita. Terkadang ada bagian hidup kita yang “disisakan”, tidak dipersembahkan untuk Tuhan. Bagi Yesus, besarnya jumlah pemberian itu tidak pernah dipersoalkan yang penting adalah ketulusan hati dan pengurbanan. Pernahkah kita dalam hidup ini memberi bukan dari kelimpahan dan kelebihan kita, melainkan dari kekurangan kita?

Memberi dari kekurangan? Bukankah hal itu mengandung resiko yang besar? Bagaimana mungkin jaminan kehidupan itu diserahkan semuanya? Manusiawi dan rasional jika kita berpikir bahwa hidup ini memerlukan ongkos dan untuk itu manusia berlomba mengumpulkan banyak materi bagi dirinya sendiri dan jika harus memberi, itu pun dilakukan kalau sudah lebih atau sisa. Apakah hal seperti itu yang Tuhan inginkan? Tidak sanggupkah Dia menjamin kehidupan untuk anak-anakNya yang dengan tulus menyalurkan berkat Tuhan bagi sesamanya? Cerita janda di Sarfat (I Raja-raja 17:8-16) yang memberikan persediaan makanan mereka untuk Elia, padahal hidup janda dan anaknya itu tergantung pada bekalnya itu. Kisah ini setidaknya memberi gambaran bagi kita bahwa Allah sanggup memelihara hamba-hambaNya bahkan melampaui nalar dan pertimbangan manusia ketika mereka taat dan memberi dengan tulus.

Musthil untuk jaman sekarang? Tidak juga! Simak kisah berikut:
Bai Fang Li tinggal sebagai seorang pendatang di sebuah gubuk reot daerah kumuh Tian Jin, China. Hanya ada sebuah tikar tua yang ujung-ujungnya sudah robek, tempat ia merebahkan tubuhnya yang sudah mulai tua. Beberapa potong pakaian kumal dan selimut tipis tua menghiasi gubuk itu. Li dikenal sebagai tukang becak ramah. Keramahannya membuat ia mudah dikenal dan menjadi sahabat para jelata. Tidak pernah ia menentukan tarif terhadap penumpangnya. Dengan sikapnya itu banyak penumpang justeru memberi lebih atas jasanya.

Dari penghasilan yang ia peroleh setelah seharian mengayuh becak, sebenarnya ia mampu mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu butut yang sudah tidak layak pakai karena telah lama robek. Namun, ia tidak melakukannya! Semua uang penghasilannya ia sumbangkan kepada yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak yatim piatu yang miskin di Tian Jin.

Suatu ketika saat ia sedang beristirahat setelah mengantar pelanggan, hatinya sangat tersentuh menyaksikan seorang anak kurus, berusia sekitar 6 tahun tengah menawarkan jasa mengangkat barang kepada seorang ibu yang sedang berbelanja. Beberapa kali ia memperhatikan anak itu, lalu ia menghampirinya lalu berdialog. Anak kecil itu mengungkapkan bahwa dirinya bekerja untuk menafkahi kedua adiknya yang berumur 4 dan 5 tahun. Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah dan ibu mereka pergi memulung dan tidak pulang kembali. Bai Fang Li kemudian membawa tiga orang anak ini ke yayasan yang menampung anak yatim piatu.
Ia merasa sangat bahagia melakukan semuanya itu. Di tengah kesederhanaan dan keterbatasannya, mendapatkan pakaian rombeng yang masih layak dikenakan dari tempat sampah merupakan kemewahan yang luar biasa. Ia hanya perlu menjahit sedikit bagian yang terkoyak dengan kain yang berbeda warna.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari dalam setahun. Ia tidak memedulikan cuaca yang silih berganti, baik ketika badai salju yang turun membekukan tubuh maupun ketika panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya. “Tidak apa-apa saya menderita, hal yang penting biarlah anak-anak miskin mendapat makanan yang layak dan bisa bersekolah. Saya bahagia melakukan semuanya ini...” katanya bila ada orang yang menanyakan alasan ia mau berkorban sedemikian besar untuk orang lain tanpa memedulikan diri sendiri.

Bai Fang Li mengayuh becak selama hampir 20 tahun demi memperoleh uang yang secara rutin ia berikan kepada yayasan yatim piatu di Tian Jin. Saat usianya menginjak 90 tahun, ia mengantarkan tabungan terakhirnya sekitar Rp.650 ribu (kurs pada saat itu) yang ia simpan dengan rapi dalam sebuah kotak dan menyerahkannya kepada sekolah Yao Hua. Bai Fang Li berkata dengan sendu, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya berikan.”

Semua guru yang ada di sekolah itu menangis. Bai Fang Li meninggal pada usia 93 tahun dalam kesederhanaan. Namun demikian total sumbangan yang ia telah berikan kepada yayasan yatim piatu dan sejumlah sekolah di Tian Jin untuk menolong kurang lebih 300 anak miskin dalam sepanjang hidupnya adalah sebesar Rp. 455 juta rupiah (kurs pada saat itu). Sebuah foto terakhir mengenai dirinya bertuliskan, “Sebuah cinta yang istimewa untuk seorang yang luar biasa.”

Jadikanlah diri Anda orang yang berbahagia. Kebahagiaan bukan diukur dari seberapa banyak Anda mengumpulkan harta benda untuk diri sendiri, melainkan seberapa banyak Anda peduli dan memberi!

“Ketika mencintai dan melayani dilakukan
terus-menerus dengan penuh ketulusan,
perasaan berkorbannya menghilang,
yang muncul hanyalah senyuman
yang membahagiakan.
(Gede Prama)

1 komentar:

  1. artikel yang menarik. memang kuasa Tuhan tidak akan pernah masuk di pikiran kita. Memang terkadang ajaran Yesus bertolak belakang dengan dunia. Orang seharusnya memberi dari kelimpahan, tapi Yesus menekankan pada janda miskin yang memberi dengan nominal sedikit ini. Di saat kita memberi dari kekurangan, Tuhan sanggup melimpahkan kasih karunia dengan jalan yang gk bisa kita tebak dan gk masuk di akal.

    visit my blog opinika.blogspot.com

    BalasHapus