Jumat, 10 Agustus 2012

ADA TUHAN DI TENGAH KEPUTUSASAAN

Samuel Plimsol adalah salah seorang anggota Parlemen Kerajaan Inggris, kira-kira satu abad yang lalu. Ia sangat sedih dan menaruh perhatian sangat serius ketika mendengar kabar ada kapal brang yang sarat dengan muatan tenggelan di dasar laut yang menimbulkan korban jiwa dan materi yang sangat besar. Keprihatinannya membuahkan sebuah usul yang kemudian menjadi undang-undang pelayaran. Undang-undang itu menyatakan bahwa setiap kapal harus mempunyai apa yang disebut “garis batas muatan” yang tertera di badan kapal. Apabila, kapal terus dimuati barang dan orang, maka kapal itu lama-kelamaan akan turun. Turunnya kapal dari permukaan air tidak boleh melampaui garis itu. Muatan harus segera dihentikan, sebab kalau tidak kemungkinan besar kapal tidak akan stabil di laut lepas dan membahayakan pelayaran itu sendiri. Sampai sekarang para pelaut menamakan “garis batas” itu dengan sebutan “garis Plimsol”.

Setiap manusia memiliki “garis Plimsol”, suatu titik yang menjadi batas normal keadaan kesehatan, kebahagiaan, kemampuan akal sehat, kondisi fisik, emosional, dan sebagainya. Ketika “garis Plimsol” dalam diri manusia itu dapat terlampaui dengan beban-beban berat, kita sudah dapat menduganya bahwa tubuh, -sama seperti kapal yang sarat dengan muatan- akan berada dalam situasi bahaya. Sinyal-sinyal tubuh kita sebenarnya telah memberi tahu, namun sayangnya bagi kebanyakan orang sinyal itu tidak direspon dengan baik. Akibatnya, mencari penyelesaian dengan jalan pintas dan keliru. Sinyal-sinyal itu membuat kita tidak nyaman, resah dan gelisah, tidak tahu apa yang harus dikerjakan, temperamental dan sensitif, merasa tidak berguna, buruk sangka mendominasi pikiran, rasanya ingin mati!

Kitab 1 Raja-raja 19:1-8 mencatat Elia, seorang nabi besar Perjanjian Lama sedang berada dalam ambang batas “garis Plimsol”. Kondisinya sedang gawat dan genting. Elia menghindari ancaman kematian yang ditebarkan oleh sang Permaisuri, Izebel. Ia melarikan diri ke daerah Besyeba yang berada diluar wilayah kekuasaan Raja Ahab. Apakah di tempat persembunyian itu Elia merasa aman? Ternyata tidak! Secara fisik, sementara Elia aman dari ancaman pasukan Ahab. Namun, saat menyendiri itulah ia merenungkan tentang jati dirinya, tugas yang sedang diembannya serta dampak atau buah dari pekerjaannya. Di tempat itulah Elia frustasi, putus asa dan hidup terasa tanpa makna. Ia berujar, “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari nenek moyangku.” (1 Raja 19:4). Semula Elia menghindari diri dari ancaman kematian, namun kini ia minta mati. Ini memperlihatkan betapa beratnya pergumulan Elia dalam menanggung tugas kenabiannya.

Mengapa seorang nabi sekaliber Elia menghadapi keputusasaan yang begitu hebat? Sangat mungkin Elia merasa balasan atau dampak yang ia terima tidaklah sebanding dengan pelayanan yang penuh “prestasi” spektakuler yang telah dilakukannya. Bayangkan sederet peristiwa menakjubkan baru saja dilewatinya: Peristiwa anak janda di Sarfat yang bangun dari kematian, kemenangan heroik atas 450 nabi Baal dalam pertempuran untuk menegakkan nama TUHAN, dan turunnya hujan tepat seperti yang dinubuatkannya. Ternyata itu semua tidak berbuahkan seperti yang diharapkannya. Apalagi penghargaan terhadap dirinya, bertobat pun bangsa itu tidak! Mereka tetap menyembah Baal dan berusaha membinasakan Elia.  Jadi itu semua tampaknya sia-sia, tidak ada gunannya!

Hal yang sama tidak mustahil sekarang sedang menghinggapi Anda. Hidup dalam ambang batas “garis Plimsol”, penuh tekanan dan terasa semua yang sudah dikerjakan sama sekali tidak ada orang yang menghargai. Jangankan orang lain, keluarga sendiri pun tidak. Hidup menjadi tidak berguna dan frustasi! Apa yang bisa Anda lakukan? Menyerahkah?

Dalam keadaan depresi dan putus asa itu, Elia tertidur. Namun kemudian seorang malaikat menyentuhnya serta berkata kepadanya, “Bangunlah, makanlah!” Elia putus asa, melarikan diri dari tugas panggilannya dan ingin mengakhiri hidupnya, namun Tuhan tidak meninggalkannya. Tuhan memahami kekecewaannya. Kehadirannya tampak melalui Malaikat. Malaikat itu meminta Elia bukan hal yang sulit. Bisa dilakukan bahkan oleh orang yang sedang depresi sekalipun. Bangunlah! Dalam kata “bangun” ada banyak pengertian, antara lain : bangkit, berdiri, jaga, siuman dari pingsan, mulai sadar. Seolah malaikat itu menyadarkan kembali Elia. Elia tidak sendiri ada malaikat  Tuhan yang menyertai. Hal ini serupa dengan ungkapan pemazmur yang mengatakan, “Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.”(Mazmur 34:8). Malaikat itu mengajak Elia bangun oleh karena ia tahu Elia masih mempunyai tenaga untuk bangun.

“Bangun” dapat berarti juga tidak meratapi diri sendiri atau mengasihani diri sendiri. Hidup yang hanya berpusat pada diri sendiri. Hati yang berfokus pada diri sendiri merupakan lahan subur bagi berkembangnya “virus” depresi dan putus asa. Ini lazim menghinggapi orang-orang yang sedang menghadapi pergumulan. Lalu malaikat itu meminta Elia makan. Makanan telah tersedia, kini tinggal kemauan Elia mengangkat tangan dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Dengan menuruti perintah malaikat itu, Elia dapat melanjutkan perjalannnya. “Maka bangunlah ia, lalu makan dan minum, dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb.” (1 Raja 19:8) Dasyat!

Mungkin Anda akan berujar, ‘Enaknya Elia, Tuhan menyertainya dan malaikat langsung berhadapan dengannya serta memberi makan. Tapi saya, ketika mengalami pergumulan dan keputusaasaan, jangankan malaikat, pendeta pun tak kunjung datang! Cobalah perhatikan ini: Malaikat secara umum dipahami adalah pesuruh atau wakil Tuhan untuk berkomunikasi dengan manusia. Ia dipercaya menyampaikan kehendakNya. Saat ini mungkin kita tidak menjumpai malaikat seperti yang dilihat Elia. Namun, percayalah ada “malaikat-malaikat” Allah yang berkemah di sekitar Anda. Mereka itu bisa pasangan Anda, anak Anda, tetangga Anda, teman-teman gereja Anda, bawahan atau atasan Anda di kantor, pembantu dan orang-orang yang mungkin selama ini Anda remehkan, anjing peliharaan dan ikan koki dalam akuarium serta angin sepoi-sepoi.

Tuhan bisa dan sangat mungkin memakai mereka seperti fungsi malaikat yang berjumpa dengan Elia. Kehadiran mereka sengaja Tuhan tempatkan agar Anda “bangun” dan “makan”. Bangkit dari keterpurukan dan memberikan kekuatan menghadapi depresi dan keputusasaan. Masalahnya, apakah Anda seperti Elia? Merespon dengan baik atau lebih senang memanjakan dan menilai diri sebagai orang yang paling malang di dunia ini. Jika itu yang terjadi, waspadalah karena ada orang-orang yang mengasihi Anda akan menangis menyesali kepergian Anda. Dan Anda dikenal sebagai orang pecundang!

Makanan sudah disediakan malaikat untuk Elia. Saya percaya, Tuhan juga sudah menyiapkannya untuk kita. Tinggal sekarang tangan kita, apakah mau menggerakkannya untuk mengambil dan memakannya atau tidak. Apakah tangan-tangan ini masih mau mengolah bahan dasar yang sudah Tuhan sediakan atau kita, demi mengasihani diri sendiri tidak mau melakukannya? Bukan hanya “roti’ atau makanan kasat mata yang Tuhan sediakan, dalam renungan minggu lalu saya menulis Yesus sebagai Roti Hidup. Roti “metafisik”, Ia hadir dalam kehidupan orang percaya. Ada cinta di balik sepotong roti. Ada kasih Allah dalam hidup kita! Ia Memampukan orang percaya untuk dapat bertahan dalam pelbagai kondisi. Apakah kita merasakan kehadiranNya? Atau kita tidak peka sama sekali dan membiarkan keputusasaan itu merenggut hidup kita. Ataukah kita lebih suka bersungut-sungut seperti orang-orang yang mengerumuni Yesus?(Yoh.6:41). Ingatlah kebahagiaan tidak ditentukan dari luar, tetapi dari dalam diri kita yang telah menerima Roti Sorgawi itu. Roti itu lebih dari cukup menjadi bekal dalam hidup ini. Roti itu menjadikan kita manusia baru (bnd. Efesus 4:17-32) yang tidak lagi berorientasi pada ego yang membuahkan ketamakan dan hedonisme  Bersyukurlah, rayakanlah hidup. Hitup itu indah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar