Rabu, 13 Juni 2012

“Domba: Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dalam menghadapi tantangan dunia”

Setelah mengepung kota Roma pada tahun 1849, Garibaldi mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada para pengikutnya, “Wahai semua prajurit, seluruh usaha kita melawan kekuatan musuh yang lebih besar itu telah sia-sia. Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa kepada kalian, kecuali kelaparan, kehausan, kesulitan dan kematian. Namun demikian aku memanggil semua orang yang mencintai tanah airnya untuk bergabung dengan aku..” Hasilnya? Ada beratus-ratus prajurit yang mengikutinya. Hal yang sama terjadi dengan Churchill, setelah kekalahannya dalam perang di Dunkirk. Churchill tidak menjanjikan apa-apa kepada negaranya, kecuali ”darah, kerja keras, keringat dan air mata.”

Ketika Shackleton mencetuskan usahanya untuk perjalanan ke kutub selatan, ia mengajak siapa pun dengan sukarela mau bergabung dengannya. Dia tidak menjanjikan apa-apa, kecuali kesulitan-kesulitan yang akan di hadapinya. Namun apa yang terjadi? Begitu banyak orang yang melamar untuk ikut serta dalam petualangan itu. Ketika Christofer Colombus hendak memulai misinya mencari dunia lain, ia tidak menjanjikan apa-apa keculai kesulitan demi kesulitan, namun dijawab dengan begitu banyak orang yang ingin bergabung dengannya. Apa yang ditawarkan tim pemadam kebakaran di kota Pontianak? Bekerja tanpa pambrih kapan saja, tidak diperkenankan menerima uang, resiko pulang nama. Namun justeru merupakan kebanggaan bagi mereka yang bisa diterima dalam tim pemadam kebakaran swadaya ini.

Apa kebanggaan Anda ketika Yesus memanggil dan mengutusmu? Ada banyak orang mengharapkan kemudahan, kesuksesan dan kemakmuran. Hanya sedikit yang sadar bahwa Yesus seringkali menempatkan para pengikut-Nya dalam dunia yang sulit, berbahaya, dan penderitaan.

Melihat contoh-contoh di atas, mestinya gereja sekarang harus belajar kembali untuk mengajarkan orang bukan ke jalan yang mudah, melainkan mempersiapkan warganya menghadapi tantangan yang tidak mudah. Gereja, kita semua perlu memahami bahwa sejak semula Yesus tidak meninabobokan para pengikut-Nya dengan hal-hal yang menyenangkan. Tengok saja dalam Matius 10 :16, ”Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah srigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”

”Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah srigala.” Itulah situasi yang Yesus gambarkan bagi murid-murid-Nya. Jadi, sangat jelas bahwa Yesus bukan mengutus kita ke tempat yang aman dan nyaman. Melainkan ke tempat yang penuh dengan resiko. Ketika Dia mengutus murid-murid-Nya ke tempat yang sulit, itu berarti Dia juga telah mempertimbangkan semua kemampuan para pengikut-Nya. “Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah srigala!” “Aku mengutus kamu”, itu artinya: Tuhanlah yang menyuruh kita, Tuhanlah yang menempatkan kita di tengah-tengah srigala itu! Apa yang penting yang selalu harus diingat oleh orang Kristen. Yang penting harus diingat adalah bahwa kita ini harus tetap domba.

Hal ini penting untuk kita ingat, oleh karena cukup banyak orang Kristen yang tidak membaca ayat ini dengan cermat. Banyak yang memahami, seolah-olah orang Kristen itu diutus untuk menjadi ular di dunia ini. Tidak! Kita diutus bukan untuk menjadi ular sehingga kecerdikan ditafsirkan begitu rupa menjadi kelicikan dan kelicikan itu dimanfaatkan untuk mencapai apa yang diinginkan. Tuhan juga tidak menyuruh kita menjadi merpati yang selalu tulus walaupun sudah nyata-nyata dimanfaatkan orang lain bahkan menjadi sasaran empuk “srigala”. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi srigala dan sebaliknya juga Tuhan tidak ingin kita menjadi merpati. Domba tetap domba!

Bagaimana supaya satu pihak, kita tetap domba dan tidak berubah menjadi srigala. Tetapi pada pihak lain, kita tidak menjadi korban srigala yang buas itu? Dengan kata lain: bagaimana kita mempertahankan kekudusan di dunia yang tidak kudus ini? Tuhan Yesus menjawab: “hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Kedua hewan ini dalam budaya Yahudi mempunyai simbol. Yang pertama, ular dalam kitab Kejadian ular dipakai oleh Iblis untuk memperdaya manusia agar jatuh ke dalam dosa. Di situ Iblis memanfaatkan kecerdikan ular. Yang kedua, merpati simbol dari ketulusan dan kejujuran. Merpati dipakai Tuhan sebagai lambang Roh Kudus yang menghampiri Yesus ketika Ia selesai dibaptis oleh Yohanes.

Orang Kristen tidak boleh cuma cerdik seperti ular. Sebab, lama-kelamaan orang Kristen seperti ini akan segera berubah menjadi srigala. Tetapi di lain pihak orang Kristen pun tidak boleh hanya tulus saja seperti merpati. Orang Kristen seperti ini akan habis begitu saja di makan oleh srigala. Tuhan tentu menyenangi orang Kristen yang jujur, polos dan tulus. Tetapi jangan menjadi orang Kristen yang bodoh. Cerdik tetapi tulus. Tulus tetapi cerdik. Ini yang akan membuat kita bertahan sebagai domba di tengah-tengah srigala. Ini yang membuat kita, dengan pimpinan Roh Kudus, mampu untuk hidup kudus di tengah dunia yang tidak kudus.

Cerdik itu apa sih? Pintar? Ya, tetapi tidak sepenuhnya sama. Alm.Pdt.Em. Eka Darmaputera menggambarkan demikian: Orang cerdik itu biasanya pintar. Tetapi orang pintar belum tentu cerdik. Licin? Atau licik? Ya, ada unsur itu. Tetapi juga tidak persis sama. Licin dan licik itu biasanya merugikan orang lain. Cerdik tidak. Untuk menjelaskan apa itu “cerdik” adalah dengan menjelaskan unsur-unsurnya. Cerdik itu menunjukkan sikap yang ulet, tidak gampang menyerah, tidak gampang putus asa. Ingat cerita-cerita tentang Abunawas, Nasruddin, Sikabayan atau si kancil. Tokoh-tokoh itu digambarkan selalu ada pada pihak yang lemah dan kecil. Karena kecil dan lemah seringkali mereka berada dalam bahaya. Tetapi mereka disebut “cerdik” karena mereka tidak begitu saja menyerah. Tidak berkata pada dirinya sendiri, “Apa boleh buat! Percuma saja melawan! Saya ini apa dibandingkan mereka!”

Unsur kedua dalam cerdik itu adalah putar otak, cari akal namun bukan akal-akalan, bagaimana caranya bisa lolos dari situasi yang amat sulit. Kalau domba tidak mau menyerah lalu menantang berkelahi dengan srigala , ini bukan domba yang cerdik, ini domba yang tolol. Cerdik mencakup kedua hal itu. Tidak mau menyerah, dan mencari akal. Ada orang-orang Kristen yang tidak gampang menyerah tetapi cuma nekad. Tidak cerdik. Mengapa mesti takut memberitakan Injil? Kalau mati biar mati, ‘kan pasti masuk surga? Berani tapi konyol! Yang lebih banyak lagi adalah orang Kristen yang tidak mau putar otak untuk cari akal. Padahal kata para ahli, otak manusia umumnya hanya dipakai lima persen saja, sedangkan seorang yang jenius seperti Albert Einstain hanya menggunakan enam persen otaknya. Benar seperti yang dikatakan Martin Heidegger (Basic Writings,1976) ”Selama berabad-abad sebagian besar orang terlalu banyak bertindak dan kurang berpikir”. Dengan nada yang sama, Hannah Arendt mengatakan, jangan-jangan yang menjadi salah satu penyebab merajalelanya kejahatan tanpa malu-malu adalah meluasnya ketanpaberpikiran (thoughtlessness) dalam bertindak (The Life of The Mind,1978) Orang Kristen yang putar otaknya cari akal agar berhasil dalam kariernya, banyak! Supaya berhasil dalam bisnis, banyak! Supaya lulus ujian, banyak! Tetapi yang mau putar otak cari akal supaya benar-benar hidup kudus di tengah dunia yang tidak kudus ini, tidak banyak.

Contoh cerita klasik dari negeri Tiongkok ini mungkin dapat menjadi pelajaran untuk kita. Alkisah di negeri Tiongkok hidup seorang guru kungfu yang sudah sangat tua. Ia mempunyai dua murid yang masing-masing mempunyai tingkat keseriusan, semangat dan keuletan belajar kungfu yang sama. Untuk mewariskan perguruannya, ia harus memilih yang terbaik dari keduanya. Pertandingan di antara mereka berdua pun dilakukan. Namun, beberapa kali diadakan adu kekuatan selalu berakhir seimbang. Mereka ternyata mampu menyerap ilmu yang sama dari sang guru.

Untuk mengetahui mana di antara mereka yang paling baik dan cerdik, guru tersebut terpaksa menggunakan cara yang lain. Suatu tengah malam, guru tersebut memanggil mereka dan memberi tugas, ”Besok pagi kalian pergi ke hutan mencari ranting pohon, siapa yang pulang dengan hasil terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang. Waktu yang tersedia untuk kalian adalah jam lima pagi sampai jam lima sore. Ini ada dua buah parang yang dapat kalian pergunakan!”

Mendapat tugas itu di benak murid pertama langsung terbayang bahwa keesokan harinya ia harus bekerja keras dan lebih serius karena waktunya terbatas. Ia terlalu fokus pada waktu, yakni harus berangkat jam lima tepat, maka ia pun segera istirahat dan tidur. Namun, murid kedua fokus pada pekerjaan. Ia langsung memeriksa parangnya, dan ternyata parang itu adalah parang tua yang sudah tumpul. Maka ia pun memutuskan, besok sebelum berangkan akan mengasah dulu parang itu. Tantangan kedua terbayang di benaknya, bagaimana nanti membawa ranting pohon yang sudah ditebang dengan lebih banyak, efisien dan efektif?

Sementara temannya sudah tertidur lelap, ia masih mondar-mandir di depan kamarnya, memikirkan cara terbaik untuk membawa ranting. Akhirnya ia punya ide menyiapkan tali pengikat dan tongkat pikulan sebelum berangkat ke hutan. Dengan perasaan puas ia pun pergi tidur. Keesokan harinya, murid pertama yang sudah merencanakan bekerja keras, bangun tepat waktu dan langsung berangkat ke hutan. Sementara itu murid kedua masih tertidur, tepat jam enam pagi baru bangun. Sesuai dengan rencana ia mencari batu asah untuk mengasah parangnya, kemudian ia mencari tali dan tongkat pikulan. Setelah semua perlengkapan siap, ia segera berangkat ke hutan, jam menunjukkan pukul tujuh lebih.

Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, murid kedua sudah berhasil mengumpulkan ranting cukup banyak. Ia segera mengikatnya menjadi dua bagian dan diikatkan pada tali pikulan lalu membawa pulang. Sesampainya di rumah diserahkannyalah kepada sang guru. Sementara murid yang pertama, karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon. Dengan demikian ia juga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk istirahat karena kecapeian. Belum lagi waktu yang digunakan untuk mencari tali pengikat. Selain itu, dengan caranya membawa ranting kayu dipanggul di pundaknya, jumlah yang dibawanya juga relatif sedikit.

Si murid kedua adalah murid yang cerdik, sebelum bekerja/bertindak ia berpikir mencari strategi. Cerdik tidak curang, ia tidak mencuri star untuk mengasah parang dan mencari perlengkapan lainnya, bahkan ia memulai lomba lebih kemudian daripada murid pertama.  

Menjadi domba di tengah srigala ini merupakan komitmen dan keseriusan. Yesus telah memberikan resepnya. Karena Abunawas dan kancil itu serius dengan hidupnya, maka mereka juga serius putar otak supaya bisa lolos dari bahaya. Karena kita serius dengan karier kita, bisnis kita, studi kita, kita akan mati-matian cari jalan agar berhasil. Sudahkah kita juga serius dengan iman kita, sehingga mati-matian juga memperjuangkannya. Kebanyakan justeru sebelum memikirkan lebih jauh, menggumuli dengan dalam kita menyerah dan ikut arus.

Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Artinya dalam batas-batas tertentu kita bersedia mengikut arus namun tidak dihanyutkan. Menampilkan keteladanan. Tetapi sampai pada titik tertentu harus dengan tegar berani mengatakan ‘tidak’ demi keyakinan iman kita. Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati bisa kita terjemahkan dengan sikap hidup yang sangat realistis. Kalaupun karena keterbatasan kita, kita belum mampu mengalahkan dunia ini, bertahanlah, agar paling sedikit dunia tidak mengalahkan kita. Kalaupun srigala itu tidak dapat kita ubah menjadi domba, paling sedikit kita tidak berubah menjadi srigala. Tidak mustahil di tengah dunia yang sulit tidak mustahil kita dapat menampilkan kesaksian. Bukankah lampu itu akan bermanfaat, menampakan terangnya di tengah kegelapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar