Kamis, 01 September 2011

BERANI MENYAMPAIKAN KEBENARAN, BIJAK MENEGUR TEMAN

Suatu hari, Steve melihat kakak kelasnya sedang asyik berdua mojok di sudut sekolah. Siswa kelas tujuh ini kaget dan tak percaya akan apa yang dilihatnya. Betapa tidak, kakak tingkatnya ini yang dulu menjadi mentor dalam MOS (Masa Orientasi Sekolah) selalu mengajari sopan santun dan hal-hal baik yang harus dilakukan di lingkungan sekolah. Hatinya berdebar, Steve berpikir bahwa apa yang dilihatnya itu tidak pantas dan merupakan pelanggaran ketertiban di sekolah. Jam pelajaran koq mojok dan pacaran pula. Ia tidak berani menegur, namun ia punya inisiatif untuk melaporkannya kepada guru BP.

Setelah menerima pengaduan Steve, Ibu guru BP segera meluncur ke TKP. Ternyata laporan itu benar! Singkat kata senior Steve diberi peringatan dan hukuman. Apakah perkaranya selesai sampai di situ? Ternyata tidak! Di kemudian hari senior Steve tahu bahwa yang melaporkan mereka kepada guru BP itu adalah Steve. Sejak saat itu Steve mengalami banyak intimidasi dan ancaman.

Menegur dan menyatakan kebenaran merupakan perkara yang tampaknya mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Kita mudah menegur dan mengingatkan orang apabila posisi orang yang kita tegur itu menurut strata sosial ada di level bawah. Misalnya seorang atasan atau bos menegur anak buahnya yang keliru melakukan suatu pekerjaan atau guru menegur muridnya. Nah, bagaimana jika posisinya terbalik? Kita sebagai bawahan melihat kebijakan atau tingkah laku atasan itu keliru baik menurut kaidah kerja, moralitas atau iman? Maka menegur bukanlah perkara yang mudah. Di sinilah kita tidak hanya perlu keberanian tetapi juga hikmat.

Kebanyakan orang tidak suka ditegur atau diingatkan. Maka di pihak si penegur juga harus menyadari resiko yang akan bakal diterimanya ketika ia mengingatkan kesalahan seseorang. Alkitab banyak sekali mengungkapkan contoh-contoh nabi yang dipakai Tuhan untuk mengingatkan umatNya akan kesalahan dan dosa mereka. Kenyataannya banyak nabi yang tidak disukai. Sebaliknya nabi-nabi palsu yang hanya menyampaikan perkataan yang enak di dengar, mereka itulah yang banyak diikuti. Yohanes Pembaptis, ketika ia menyampaikan kebenaran, menegur kebobrokan moral keluarga Herodian maka ia harus membayarnya dengan kepalanya sendiri. Yesus disalibkan salah satu sebabnya adalah karena para pemuka Yahudi tidak mau menerima kebenaran yang disampaikanNya.

Di negeri ini begitu banyak cerita orang yang berani menyatakan kebenaran akan berhadapan dengan maut. Reformasi katanya era di mana setiap orang bebas mengungkap kebenaran. Kenyataanya tidak semua kebenaran mendapat tempat. Ada begitu banyak kasus korupsi dari kasus Bank Century sampai Nazaruddin sulit dituntaskan karena tidak semua orang berani menanggung resiko ketika mengungkapkan kebenaran itu. Jika pengungkapan kebenaran tidak mengandung resiko maka tidaklah perlu di negeri ini membentuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Apakah dengan resiko itu kemudian menjadi alasan bagi kita untuk tidak mau menegur dan menyatakan kebenaran kepada sesama kita? Apakah kita lebih suka mendiamkannya saja dengan alasan bahwa itu merupkan masalah pribadinya? Dalam zaman modern yang mengarah kepada individualisme, kita sering terjebak bahwa mengingatkan atau menasehati orang lain yang salah jalan, sering dipandang ikut campur urusan pribadi orang. Yesus mengingatkan bahwa tindakan mengingatkan orang yang sedang melakukan kesalah merupakan bagian dari cinta kasih terhadap sesama.

Jika kita membiarkan teman atau saudara kita terus melakukan apa yang keliru maka jelaslah ia akan mendapatkan konsekwensi yang tidak baik dari apa yang sedang dilakukannya. Ibaratnya ia sedang berjalan menuju ke jurang. Kita tahu jika tidak ada yang mencegahnya maka ia akan terpeloksok ke dalamnya. Jika kita membiarkannya terus berjalan maka pastilah ia menemui kebinasaan, jadi kesimpulannya kita tidak mengasihinya. Jika kita mengasihinya pastilah dengan sekuat tenaga dan dengan pelbagai cara kita akan mencegahnya untuk tidak berjalan terus melainkan berbaik arah. Bertobat!

Pelbagai cara itu diajarkan oleh Yesus  (Matius 18:15-20). Pertama-tama, menegur empat mata. Menegur secara pribadi. Kesalahan orang tidak dipublikasikan kepada orang lain, melainkan diingatkan dan dijelaskan apa yang salah. Tentu sebagai orang yang mengingatkan mestinya keadaannya lebih baik. Apa jadinya ketika kita terpanggil untuk menasehati orang lain, diri kita sendiri melakukan hal yang. Tidak akan ada artinya. Saya teringat kisah Mahatma Gandhi. Suatu ketika ada seorang ibu membawa anaknya kepada Gandhi. Tujuan ibu ini adalah supaya Gandhi memberikan nasehat kepada anaknya untuk tidak makan gula-gula (permen) karena dapat merusak gigi dan mengurangi nafsu makannya. Gandhi menyuruh ibu itu pulang dan meminta mereka kembali minggu depan. Si ibu heran, karena Gandhi tak memberi petuah spatah kata pun dan menyuruhnya pulang. Ibu itu tak berani membantah, ia membawa anaknya pulang.

Minggu berikutnya si ibu ini kembali datang bersama dengan anaknya. Gandhi kemudian menasehati anak itu, “Nak, lebih baik sekarang engkau hentikan kebiasaan makan gula-gula itu. Tidak baik karena dapat merusak gigimu! Sekarang pulanglah!” Ibu itu terheran-heran, mengapa untuk nasehat yang pendek dan sederhana itu ia harus menunggu satu minggu. Ia penasaran dan bertanya, “Pak. Gandhi, mengapa untuk nasehat yang sederhana itu saya harus menunggu satu minggu?” Gandhi menjawab, “Sederhana saja, seminggu yang lalu saya masih makan gula-gula.”

Ada banyak orang tidak konsisten, ia ingin menasehati orang lain, sementara dirinya sendiri sedang menikmati kekeliruaannya. Banyak orang tua yang senang merokok namun berani-beraninya menasehati anaknya untuk tidak merokok. Banyak koruptor menasehati orang lain supaya tidak korupsi.

Tahap berikutnya dalam menegor adalah melibatkan saksi, tujuannya sama, bukan untuk mempermalukan melainkan untuk melindungi saudara atau teman yang berdosa itu dari kemungkinan salah tuduh. Tahap berikutnya adalah membawa kepada jemaat. Dalam tahap ini pun tidak dimaksudkan untuk mempermalukan orang yang berdosa, melainkan tetap dengan motivasi cinta. Jamaat diajak untuk mendoakan agar orang yang berdosa itu kembali kepada jalan yang benar. Dan jika dia tetap tidak mau bertobat, maka itu bukan lagi urusan kita, melainkan urusah Tuhan.

Tuhan tidak menginginkan jika ada seseorang yang melakukan dosa, kemudian saudaranya membiarkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar