Jumat, 22 Juli 2011

MEMILIH DENGAN HIKMAT ALLAH


Memilih merupakan kegiatan manusia setiap saat. Dari bangun pagi sampai tidur, manusia selalu diperhadapkan pada pilihan. Memilih juga merupakan pemberian Allah yang pertama kepada manusia saat mereka pertama kali diciptakan. Adam dan Hawa diberikan kebebasan memilih: taat kepada perintah Allah atau tidak. Segala sesuatu yang menghambat, mengekang kebebasan manusia untuk memilih merupakan pengingkaran dari kebebasan yang Allah berikan kepada manusia.

Sayangnya manusia sering kali mempergunakan haknya dalam memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan atau memuaskan diri sendiri. Pertimbangan yang berdasarkan pementingan diri sendiri dapat menjadi jerat bagi seseorang terjerumus dalam kenikmatan sesaat dan mengabaikan masa depan yang lebih indah. Banyak contohnya: pembalakkan liar yang menyebabkan erosi, banjir, terganggunya ekosistem yang kelak akan menimbulkan bencana besar. Memupuk kekayaan dengan segala cara, mengabaikan norma moral yang ada, itulah gambaran kasat mata yang tersaji setiap hari dari media kita.

Salomo, adalah sosok yang ideal. Ketika ia diperhadapkan kepada banyak pilihan, yang dijamin pasti setiap pilihan itu akan dipenuhi oleh Tuhan. Namun, ia tidak mengutamakan apa yang pada umumnya manusia minta, yakni kuasa, kekayaan, umur panjang dan sebagainya. Namun, ia memilih meminta hikmat dari Tuhan untuk kelengkapan tugasnya sebagai raja Israel. Apa yang dimintanya bukan untuk pemuasan nafsunya, melainkan untuk kemaslahatan sebuah bangsa. Hikmat dari Allah merupakan sebuah pemahaman yang dimiliki manusia untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan sudut pandang Allah atau mengutamakan apa yang Allah kehendaki. Sayangnya banyak orang mengaku bahwa pandangan hidupnya mengutamakan melakukan kehendak Allah, namun sayangnya hal itu hanya teori. Kenyataanya teori tidak selalu sejalan dengan praktiknya. Seperti kisah Nasruddin ini:

Alkisah, di kota tempat tinggal Nasruddin  ada seorang penguasa yang gemar makan enak di restoran. Suatu hari dalam sebuah pertemuan dia berkata kepada para hadirin, “Aku ingin menghimpun resep berbagai makanan. Aku harap kalian semua mau menuliskannya. Dan bagi yang punya resep makanan paling baik, aku akan memberi hadiah!”

Dalam waktu singkat kabar itu tersiar ke pelbagai peloksok. Nasruddin pun mendengarnya. Beberapa hari kemudian, Nasruddin berjumpa dengan seorang lelaki yang dikenal dekat dengan penguasa itu. Nasruddin berkata kepada orang itu, “Semalaman aku berpikir sampai pagi, dan akhirnya aku menemukan resep makanan yang langka, sederhana, tetapi sangat nikmat dan lezat.”

“Resep makanan apa itu?” Tanya lelaki tadi. “Ambil bawang putih, campur dengan madu! Lalu makanlah! Rasanya nikmat sekali.” Jawab Nasruddin.

Kebetulan lelaki ini sangat lugu. Dengan hati berbunga-bunga, dia menemui sang penguasa dan berkata, “Tuan, kemarin aku bertemu dengan orang tua yang halus tutur katanya dan berpengetahuan luas. Dia memberikan resep makanan yang langka,” katanya, sambil menerangkan resep tersebut. Karena tertarik, si penguasa itu memenuhi undangan santap malam di rumah lelaki itu untuk mencoba jenis makanan resep barunya. Tentu saja rasanya pedas dan tidak enak sama sekali. Sang penguasa menjadi gusar dan ia meminta dipertemukan dengan pembuat resep itu.

Esoknya, Nasruddin diminta lelaki lugu itu untuk menemui sang penguasa di kantornya. “Kamu yang menemukan resep bawan putih dicampur dengan madu?” Tanya sang pejabat kepada Nasruddin. “Benar!”” Jawab Nasruddin. “Coba kamu cicipin hasil resep makananmu ini!” kata sang penguasa sambil menyodorkan sisa makanan yang dibuat berdasarkan resep Nasruddin. Saat itu perut Nasruddin sedang kosong. Baru satu sendok masuk ke dalam mulut, wajahnya meringis dan sepasang matanya mengeluarkan air mata, seperti orang menangis.

“Bagaimana? Enak ‘kan makanan bikinanmu? Siapa pun tentu akan menganggap enak dan lezat makanan temuanmu,” cetus sang penguasa.

“Tuan, aku memang yang menemukan resep makanan ini. Tetapi penemuanku ini baru merupakan teori yang belum pernah aku coba. Dan baru sekarang aku tahu hasilnya. Anda tentu tahu Tuan, bahwa praktik tidak harus cocok dengan teori. Jadi jangan menyalahkan saya!” jawab Nasruddin.

Banyak orang seperti Nasruddin. Praktik tidak selamanya cocok dengan teori. Banyak orang Kristen ketika ditanya siapa yang paling diandalkan dalam hidupnya mereka dengan mantap akan menjawab: Kristus! Teorinya seperti itu, namun apakah benar ketika diperhadapkan dengan realita kehidupan,  Kristuslah pilihan utamanya? Bagaimana ketika berhadapan dengan kesulitan hidup? Penderitaan, penganiayaan, pelbagai pencobaan, kemiskinan diperlakukan dengan tidak menyenangkan apakah  Kristus dan kehendakNya yang masih diutamakan? Dalam pelbagai peristiwa apakah sama seperti yang diyakini oleh Paulus bahwa tidak ada yang dapat memisahkannya dari kasih Kristus? (Roma 8:35-39).

Seorang chef (koki profesional), sebelum menyajikan makanan, ia akan belajar karakteristik berbagai bahan dasar makanan itu. Berulang kali meramu, menguji, dan mencobanya. Ia mempraktikannya, sampai akhirnya ia yakin benar dapat memuaskan pelanggannya. Jadi tidak seperti Nasruddin. Demikian pula dengan hidup orang percaya, seharusnya tidak hanya sekedar teori, bukan sekedar sebuah ucapan di bibir belaka atau menjadi sebuah rutinitas. Ia harus belajar mengandalkan dan mengutamakan Tuhan dalam segala kondisi kehidupannya. Persoalannya adalah bagaimana caranya menjadikan Tuhan sebagai yang paling utama dalam kehidupan dan bukan sekedar sebuah rutinitas, sebuah teori atau ucapan bibir belaka. Hal ini hanya dapat terjadi apabila orang tersebut telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan.

Ketika seseorang telah mengalami perjumpaan yang sungguh-sungguh dengan Kristus maka otomatis ia akan memilih atau memutuskan untuk melakukan sesuatu, yang menjadi tolak ukur hidupnya bukanlah dirinya atau kesenangannya, melainkan Tuhan. Walaupun pilihan itu seringkali bertolak belakang dengan keinginan hati dan kesenangan kita. Tentu saja untuk dapat memilih dengan hikmat Allah ini sangat tidak mudah. Karena untuk berjumpa dengan Kristus maka orang harus menanggalkan diri dan egonya terlebih dahulu.

Orang-orang yang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus, dalam arti sudah mengenal, merasakan, dan mengalami secara pribadi kasih Yesus, akan merasakan sukacita yang luar biasa. Hal inilah yang memungkinkannya untuk rela meninggalkan segala kenikmatan duniawi yang bisa menjauhkannya dari kasih Kristus. Sama seperti seorang petani penggarap, ia bekerja di ladang tuannya dan ketika ia mencangkul di ladang itu, ia menemukan harta karun di dalamnya. Segera ia kembali merapikan ladang itu, ia pulang menjual seluruh harta benda yang ia punya dan dengan uang yang dia peroleh itu, ia berusaha menebus ladang itu. Apa pun ia pertaruhkan demi mendapatkan ladang itu. Mengapa? Ya, karena ia tahu bahwa di dalamnya ada harta yang sangat berharga. Hal yang sama terjadi dengan seorang yang mencari mutiara. Ketika ia menemukan mutiara dengan kualitas terbaik, maka ia rela menjual segalanya untuk mendapatkan mutiara itu. (Matius 13:44-46)

Apakah Anda telah menemukan “harta yang berharga  atau mutiara itu”? Yakni Kristus. Jika belum, berusahalah untuk mendapatkanNya. Karena “harta-harta” yang di tawarkan oleh dunia ini adalah fana, sementara dan fatamorgana.  Jika Anda telah menemukannya, maka pasti Anda akan rela dan dengan sukacita menanggalkan apa saja yang dapat merintangi Anda untuk melayani Kristus.

Memilih dengan hikmat Allah harus melalui beberapa proses: 1) Menanggalkan ego dan kesenangan diri untuk mengalami perjumpaan dengan Allah. 2) Belajar melihat segala permasalahan dengan kacamata yang lebih luas, yaitu apakah sesuai dengan Firman Tuhan atau tidak,  bukan lagi ego dan kesenangan diri. 3) Memutuskan pilihan dengan kesadaran bahwa ada konsekuensi logis di belakangnya. 4) Menjalani pilihan itu dengan keyakinan yang teguh bahwa Allah selalu di pihak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar