Kamis, 28 Juli 2011

MEMBERI DENGAN KEMURAHAN HATI


Sepeninggal orang tua mereka, dua orang kakak beradik mengelola sebidang tanah. Tanah pertanian subur yang diwariskan oleh orang tua mereka. Mereka bahu-membahu menggarap sawah dan hasilnya mereka bagi rata menjadi dua bagian. Sang kakak telah menikah dan dikaruniai beberapa anak, sedangkan si adik masih tetap melajang.

Mereka hidup rukun dan damai. Namun setiap membagi hasil panen selalu menimbulkan kegundahan di antara mereka. Mereka risau bukan karena menginginkan pembagian hasil yang lebih banyak untuk diri masing-masing. Mereka juga tidak merasakan ketidakadilan dalam pembagian hasil panen, melainkan justeru memikirkan kepentingan orang lain. Si kakak berpikir, “Rasanya aku terlalu egois jika hasil panen dibagi rata menjadi dua. Bukankah ada padaku isteri dan anak-anak, mereka yang akan memelihara aku. Masa depanku sudah jelas, ada anak-anak yang akan merawat dan memelihara aku di masa tuaku. Namun, adiku? Ia masih melajang, tidak jelas masa depannya. Siapa nanti yang akan mengurus di usia lanjutnya. Maka sekarang aku harus berbuat sesuatu. Aku akan mengembalikan sebagian hasil panenku ke dalam lumbungnya agar tersedia bekal yang cukup untuk masa depannya.”

Demikian juga dengan si adik, ia berpikir, “Rasanya aku manusia yang kejam, aku hidup seorang diri namun aku menerima pembagian panen yang sama besarnya dengan si kakak. Perutku hanya satu, tapi perut keluarga kakakku banyak. Ada istri dan anak-anak mereka. Kini aku akan mengembalikan sebagaian pembagian hasil panen itu ke lumbung kakakku agar mereka tidak kekurangan bahan makanan.”

Begitulah selama bertahun-tahun, setiap mereka memanen hasil pertanian selalu dibagi rata menjadi dua bagian. Mereka menyimpannya di lumbung masing-masing dan setiap malamnya, sesudah pembagian itu, dengan diam-diam si kakak membawa sebagian hasil panennya ke lumbung adiknya, demikian juga sebaliknya dengan si adik. Mereka ingin memberikan sesuatu yang baik untuk kepentingan pihak lain. Hingga pada suatu malam terjadi peristiwa yang tidak pernah mereka duga. Ketika si kakak membawa sekarung beras untuk di simpan di lumbung adiknya, ia bertemu/amprokan dengan si adik yang juga membawa sekarung beras di punggungnya dengan maksud sama. Sejenak mereka berpandangan, lalu mereka bercerita tentang kekauatir masing-masing terhadap saudaranya. Mereka berpelukan dan menangis bersama.

Kisah di atas merupakan sebuah dongeng yang nampaknya sulit terjadi dalam dunia yang sesungguhnya. Mengapa? Karena pada umumnya manusia selalu mengutamakan kepentingan dan egonya. Sehingga sulit untuk dapat memerhatikan dan berbuat untuk keperluan orang lain. Umumnya ada motivasi-motivasi terselubung ketika seseorang memberikan sesuatu kepada yang lain. Memberi dengan tulus merupakan peristiwa langka hanya orang-orang yang tersentuh hatinyalah yang akan mampu berbuat, melakukan sebuah tindakan atau memberi bukan untuk menyenangkan dirinya, melainkan untuk memberdayakan orang lain. Dalam keyakinan kristiani, orang yang dapat melakukan tindakan kemurahan hati kepada orang lain, hanyalah orang-orang yang telah merasakan atau mengalami bahwa dirinya dicintai oleh Allah melalui Kristus. Orang seperti ini akan berbuat apa saja agar orang lain pun dapat merasakan cinta kasihNya.

Paulus adalah seorang yang telah merasakan cinta kasih Kristus. Ia mau cinta Kritus itu disambut oleh saudara sebangsanya, yakni orang-orang Israel. Namun, sayang kebanyakan orang Israel sama seperti dirinya dahulu, menolak Kristus. Terdorong oleh cinta yang ia rasakan dan juga cintanya kepada saudara-saudara sebangsanya, maka Paulus rela, jika dirinya terkutuk atau tidak mendapat bagian dalam Tuhan, asalkan bangsanya, Israel itu dapat menyambut cinta kasih Tuhan (Roma 9:1-5). Luar biasa! Pernahkah kita berpikir dalam tarap pikir Paulus ini, “Saya boleh celaka atau menderita asalkan orang lain mendapat berkat dari Tuhan!” Atau sama seperti jargon iklan, “Senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang!”

Berulang kali Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk tidak hanya memikirkan kenyamanan diri sendiri. Dalam peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang yang dicatat dalam Injil Matius 14:13-21, mengisahkan bahwa suatu ketika Yesus membutuhkan waktu dan tempat khusus bersama murid-muridNya. Namun, apa daya orang banyak terus menguntit mereka. Menjelang malam murid-murid meminta kepadaNya supaya orang banyak itu diperintahkan pergi karena tidak ada penginapan dan bahan makanan. Tetapi justeru Yesus meminta kepada para murid itu untuk memberi mereka makan. Kita bisa membayangkan apa reaksi para murid dalam menanggapi perintah Yesus ini. Singkatnya para murid menyampaikan keterbatasan mereka dengan menunjukkan bahwa yang ada pada mereka hanyalah lima roti dan dua ikan. Namun, yang ajaib di akhir kisah itu adalah bahwa dengan keterbatasan yang ada, mereka semua dapat makan dan malah menyisakan potongan-potongan roti sebanyak dua belas bakul. Tuhan memakai bukan yang tidak ada melainkan yang tersedia!

Bagaimakah kita dapat belajar dari kisah ini agar dapat memberi dengan kemurahan hati? Umumnya para ahli tafsir memahami kisah mujizat ini dengan tiga cara.
1.    
  1.  Dalam peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang dengan hanya memakai lima roti dan dua ikan dipahami sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi demikian. Setelah lima roti dan dua ikan diterima dan diberkati Yesus, maka roti dan ikannya itu mendadak menjadi banyak dan akhirnya dapat memberi makan mereka semua bahkan berlebih. Apakah mungkin seperti itu? Ya, mungkin saja, Tuhan pasti bisa melakukan apa yang tidak mungkin dikerjakan oleh manusia! 

  2. Peristiwa mujizat ini dilihat seperti pada saat sakramen Perjamuan Kudus. Setiap orang mendapat makanan sedikit, namun dapat menguatkan mereka untuk melanjutkan perjalanan dan mereka merasa puas.
  3. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Yesus sanggup mengubah hati manusia. Hati yang semula hanya mementingkan diri sendiri, namun kini setelah mereka mengalami perjumpaan dengan Yesus, mereka dapat berbagi dengan sesamanya. Mengapa demikian? Ya, kalau kita membandingkan kisah mujizat ini dengan apa yang dicatat dalam dalam Injil Yohanes 6:1-13. Dalam Yohanes kita menemukan bahwa yang mula-mula memberikan lima roti jelai dan dua ekor ikan itu adalah seorang anak!! (Yohanes 6:9). Seorang anak yang ikut dalam rombongan orang banyak tentu dipersiapkan oleh orangtuanya dengan bekal makanan agar ia tidak kelaparan. Demikian juga jamaknya orang Yahudi, biasanya mereka pun membekali diri dengan makanan ketika bepergian namun sayangnya mereka dikenal sebagai orang yang pelit dan tidak suka berbagi. Apa yang ada pada anak itulah yang kemudian dipakai Tuhan untuk menggerakan hati setiap orang yang ada itu, sehingga mereka semua mengeluarkan bekalnya, berbagi satu dengan yang lain dan akhirnya mereka semua mendapat bagian bahkan berlebih!
Jika kita memahami penafsiran dengan cara pertama dan kedua, maka daripanya kita tidak dapat belajar banyak tentang memberi dengan ketulusan hati. Cara penafsiran ketigalah dimana kita dapat belajar bahwa Yesus mampu menggetarkan hati manusia untuk berbagi dengan sesamanya, untuk hidup tidak egois. Pepatah orang bijak mengatakan bahwa dunia ini lebih dari cukup untuk menjamin kebutuhan hidup manusia. Namun, yang membuat banyak manusia miskin dan kelaparan adalah karena keserakahan dan egoime manusia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar